Mahasiswa adalah sebutan untuk
orang yang melanjutkan studinya di perguruan tinggi. Menjadi mahasiswa
merupakan suatu kebanggaan tersendiri karena tidak semua orang dapat menyandang
status sebagai mahasiswa. Mahasiswa selalu memiliki kedudukan yang lebih di
mata masyarakat. Mahasiswa memiliki pperanan yang amat penting bagi masyarakat.
Mahasiswa merupakan penyalur aspirasi rakyat kepada pemerintah. Mahasiswa
adalah harapan rakyat.
Organisasi merupakan pilihan
sebagai wadah bernaungnya aspirasi. Dan mahasiswa bebas memilih organisasi mana
yang ingin dia masuki. Organisai akan menjadi wadah mahasiswa untuk
berperan alktif menjalankan eksistensinya sebagai mahasiswa sejati. Mahasiswa
yang bukan sekadar akademisi namun juga sebagai seorang aktivis. Tanpa masuk
organisasi mahasiswa hanyalah seorang akademisi yang tidak tahu menahu
problematika yang ada dalam masyarakat. Lebih dari itu, kemampuan mahasiswa
untuk bersosialisasi dengan masyarakat juga akan dipertanyakan karena dalam
bangku perkuliahan tidak ada mata kuliah yang membahas masalah tersebut.
Organisasi yang menjadi pilihan
sangat bervariasi, baik organisasi internal maupun eksternal. Organisasi
internal mulai dari HMPS, BEM, MPM, dan organisasi ekternal kampus
seperti HMI, KAMMI, dan sebagainya menjadi pilihan bagi nmahasiswa yang
sejatinya untuk mengembangkan dirinya menjadi lebih bermakna. Namun, apakah
setiap mahasiswa sadar dengan niat mereka masuk organisasi khususnya organisasi
internal kampus hanya semata memperjuangkan aspirasi mahasiswa yang lain, atau
karena yang lainnya. Yang patut kita pertanyakan adalah menjadi ketua-ketua
organisasi, niat untuk memperjuangkan aspirasi mahasiswa atau demi dana
matriks. Maaf kalau mnyinggung dana matriks. Karena selama setahun
kepengurusan, baik BEM Fakultas, BEM Universtas, maupun MPM (Majelis
Permusyawaratan Mahasiswa) sangat sedikit kegiatan tang terlaksana, sehingga
patut dipertanyakan dikemanakan anggaran yang ada. Apakah memang anggaran yang
ada hanya cukup untuk menyelenggarakan satu atau dua kegiatan saja atau memang
lari ke tempat lain. Apakah mahasiswa saat ini masuk organisasi ingin
menghidupkan organisasi atsu ingin mencari makan (kehidupan) dalam organisasi?
Tidak jauh beda dengan
organisasi ekstrernal kampus. Saat ini, organisasi eksternal biasanya dibawahi
oleh partai-partai politik lingkup nasional. Partai inilah yang kemudian
membiayai segala bentuk kegiatan mahasiswa yang tergabung di dalamnya untuk
membentuk mindset bagi mahaiswa yang menyoroti roda pemerintahan. Mahasiswa
kerap dianggap sebagai boneka dalam konstruksi politik. Padahal,
selayaknya tidak begitu. Mahasiswa adalah agent of change dan control of power
bagi negara. Hal tersebut tidak dapat dipungkiri mengingat kampus adalah sebuah
miniatur negara. Politik dapat dengan subur berkembang di kalangan mahasiswa.
Menjadi mahasiswa, masuk
organisasi, dan menjadi demonstran. Mungkin, seperti itu pemikiran sebagian
mahasiswa saat ini. Katanya bukan mahasiswa kalau tidak pernah ikut demo.
Apalagi mahasiswa adalah penyalur lidah masyarakat yang tertindas. Sehingga
turun ke jalan, berteriak menyuarakan aspirasi masyarakat, menuntut keadilan,
memaki-maki pemerintah yang telah mereka pilih dalam pemilihan umum merupakan
rutinitas yang dilakukan oleh sebagian mahasiswa. Memang mahasiswa itu aneh,
sudah memilih pemimpin namun ketika terpilih minta dia mundur dari jabatannya.
Demonstrasi sangat sarat dengan kekeraan, pembakaran ban, membuat macet lalu
lintas, walalupun tidak semua demonstrani dilakukan dengan anarkis namun kita
perlu pertanyakan apa arti dari sebuah demonstrasi itu. Memang kita tidak dapat
menafikan bahwa selama ini demonstrasi yang terjadi tidak jarang berakhir
dengan kekerasan, tetapi kita tidak dapat juga menggeneralisasikan semua
demonstrasi seperti itu.
Kalau becermin dari demonstrasi
yang dilakukan oleh mahasiswa saat ini, kita patut pertanyakan kemurnian aksi
yang dilakukan para demonstran. Demo yang hanya dilakukan oleh lima sampai enam
orang apakah murni menyuarakan aspirasi masyarakat atau murni dilakukan demi
mendapatkan ini dan itu. Jika murni demi aspirasi masyarakat apakah mungkin
mereka ikhlas mengeluarkan uang ayang ada dalam kantong mereka untuk membayar
ongkos mobil dan biaya peminjaman salon yang digunakan ketika melakukan demo.
Secara akal sehat tidak mungkin dan memang tidak mungkin hal ini dilakukan oleh
masyarakat karena kebanyakan dari mereka adalah anak kos-kosan yang uangnya
juga pas-pasan.
Fenomena ini tentunya membuat
peran mahasiswa sebagai agent of change, agent of control, dan agen pembaharu
mulai kehilangan tajinya. Ditambah lagi banyak ditemukannya demo bayaran yang
ditunggangi oleh kepentingan-kepentingan tertentu. Sehingga banyak anggapan
miring yang muncul, bahwa mahasiswa hanya bisa bicara, Cuma bisa mengkritik
pemerintah tanpa manawarkan solusi yang bisa dilakukan demi perbaikan atas
kebijakan yang telah mereka soroti. Di samping itu, banyaknya mahasiswa yang
hanya ikut-ikutan dalam rombongan para demonstran tanpa mengetahui tujuan aksi
yang mereka suarakan. Ketika turun ke jalan menuntut keadilan penegakan
hukum, penuntasan kasus korupsi, dan sebagainya tidak semua demonstran
menguasai atau sekadar hanya tahu apa yang akan disuarakan pada hari itu.
Mungkin mereka ikut demo hanya karena lari dari kegiatan perkuliahan sebab tidak
mengerjakan tugas kuliah, atau demi segelas aqua, atau demi sebatang rokok,
atau sebungkus nasi, atau demi beberapa lembaran uang rupiah. Jika hal ini
terus terjadi, maka legalitas mahasiswa telah terjual murah kepada orang-orang
yang ada di atasnya. Hal ini membuat prgerakan mahasiswa minim analisis dan
hanya menjadi penyebab kemacatan lalu lintas.
Pergerakan mahasiswa saat ini
terkesan tidak lagi murni menyuarakan aspirasi rakyat, namun adanya simbolis
dengan orang ketiga membuat pergerakan mahasiswa melupakan peranannya sebagai
control of power bagi pemerintah. Demonstrasi tidak lagi ditujukan sebagai
jalan untuk menyuarakan aspirasi demi tercapainya sebuah perubahan bagi publik,
namun hanya sekadar rutinitas balaka. Demo hanya sekadar turun aksi, yang
penting teriak di jalan sehingga disebut pandai berbicara. Aksi-aksi mereka
hanya member baud an merusak citra aktivis-aktivis yang benar-benar murni
memperjuangkan suara rakyat. Sehingga kemurnian gerakan mahasiswa menjadi
pertanyaan. Apakah aktivitas dalam gerakan organisasi mahasiswa murni
didasarkan demi melakukan perubahan keadaan masyarakat yang lebih baik, atau
hanya sekadar batu loncatan untuk memraih kekuasaan atau kedekatan politik
dengan pusat penguasa.
Aksi-aksi demonstrasi yang
dilakukan mahasiswa hanya sekadar formalitas mahasiswa beraktivitas.
Demonstrasi yang dilakukan hanya sebagai konfirmasi mahasiswa yang berfungsi
sebagai agen yang mengontrol kebijakan pemerintah. Mahasiswa tidak ingin
dinggap apatis terhadap kebijakan pemerintah yang tidak pro rakyat. Mahasiswa
hanya tidak ingin dianggap tidak peduli dengan isu-isu yang lagi hangat
diperbincangkan. Demonstrasi saat ini tampil dengan wajah baru jika disbanding
dengan demonstrasi-demonstrasi masa sebelumnya. Demonstrasi lebih memperhatikan
keuntungan materialismenya dan keistimewaannya bagi para demonstran.
Demonstrasi gerakan mahaiswa saat ini tidak lagi murni mengusung politik moral.
Para demonstran saat ini menjadi masa bayaran oleh orang-orang yang mencari
keuntungan dari moment politik yang ada.
Dalam melakukan aksi tidak lagi
memperhatikan batasan-batasan yang boleh dan tidak boleh dilakukan. Para
demonstran tidak perduli apakah aksi mereka melangggar hokum atau tidak. Yang
penting bicara walaupun tidak tahu betul konkrit permasalahan yang ada.
Sebenarnya gerakan mahasiswa
bukan berarti harus turun ke jalan. Gerakan mahasiswa bukan hanya menjadi team
sukses bagi suatu partai politik atau calon anggota legislatif ketika pemilihan
tiba. Mahasiswa sebagai insane yang peka terhadap nadi masyarakat kecil tidak
selamannya memperjuangkan nasib wong cilik lewat demonstrasi. Namun, pergerakan
mahasiswa bisa lebih dari itu semua dan lebih beretika tentunya. Dengan tulisan
misalnya, gerakan mahasiswa bisa mengkritik kebijakan-kebijakan pemerintah
dengan solusi yang lebih pasti dan lebih terarah tanpa ada pihak-pihak yang
dirugikan.
Apakah kita adalah sebuah
organisasi pergerakan suka rela yang didorong oleh hati nurani untuk
memperjuangkan aspirasi rakyat? Atau apakah kita sebuah organisasi pergerakan
yang menyuarakan aspirasi rakyat hanya sekadat formalitas mahasiswa sebagai
agen yang mengontrol kebijakan pemerintah dengan maksud mendapat imbalan dari
para donatur yang memotori pergerakan kita? Atau apakah kita termasuk keduanya?
Jika keduanya apakah kita sudah bisa membedakan keduanaya dengan jelas sehingga
kita bisa melayani sebaik-baiknya seperti yang kita inginkan dalam setiap
peran?
Apakah kita terutama sebuah
pergerakan mahasiswa yang terlibat dalam atau mendukung masyarakat dalam
menyalurkan aspirasinya untuk mengurangi penderitaan mereka akibat kebijakan
pemerintah yang tidak pro rakyat? Atau apakah kita merupakan sebuah pergerakan
mahaiswa yang sedang melakukan campur tangan sementara dengan para pusat
penguasa dengan maksud mendatangkan keuntungan bagi pergerakan yang kita galang
tanpa memperhatikan aspirasi rakyat dan lupa pada legalitas kita sebagai
mahasiswa?
Melihat kenyataan tersebut, wajar
jika para aktivis mahasiswa berfikir perlukah merekonstruksi dan merevolusi
lembaga kemahasiswaan? Jika kita melihat kenyataan yang ada, sangatlah perlu
jika harus menata ulang dan menyusun kembali organisasi kemahasiswaan yang ada.
Karena organisasu kemahasiswaan yang ada saat ini tidak lagi bersifat
independent dimana sudah banyak pihak-pihak lain yang berada di belakang para
aktivis yang bertarung dalam pemiliha ketua lembaga kemahasiswaan. Sehingga
banyak aktivis mahasiswa yang telah lupa dengan fungsi dan legitimasinya
sebagai mahasiswa, dimana sebagai agent of change dan control of power bagi
negara. Fungsi mahasiswa sebagai sebagai agent of change dan control of power
bagi Negara telah lalai dijalankan karena mahasiswa telah menajdi boneka bagi
kelompok-kelompok yang berkuasa. Sehingga revolusi organisasi kemahasiswaaan
perlu dilakukan untuk mengembalikan citra dan fungsi mahasiswa sebagai agent of
change dan control of power.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar