Rabu, 13 Februari 2013

Citra Pergerakan Mahasiswa


Mahasiswa adalah sebutan untuk orang yang melanjutkan studinya di perguruan tinggi. Menjadi mahasiswa merupakan suatu kebanggaan tersendiri karena tidak semua orang dapat menyandang status sebagai mahasiswa. Mahasiswa selalu memiliki kedudukan yang lebih di mata masyarakat. Mahasiswa memiliki pperanan yang amat penting bagi masyarakat. Mahasiswa merupakan penyalur aspirasi rakyat kepada pemerintah. Mahasiswa adalah harapan rakyat.
Organisasi merupakan pilihan sebagai wadah bernaungnya aspirasi. Dan mahasiswa bebas memilih organisasi mana yang ingin dia masuki. Organisai akan menjadi  wadah mahasiswa untuk berperan alktif menjalankan eksistensinya sebagai mahasiswa sejati. Mahasiswa yang bukan sekadar akademisi namun juga sebagai seorang aktivis. Tanpa masuk organisasi mahasiswa hanyalah seorang akademisi yang tidak tahu menahu problematika yang ada dalam masyarakat. Lebih dari itu, kemampuan mahasiswa untuk bersosialisasi dengan masyarakat juga akan dipertanyakan karena dalam bangku perkuliahan tidak ada mata kuliah yang membahas masalah tersebut.
Organisasi yang menjadi pilihan sangat bervariasi, baik organisasi internal maupun eksternal. Organisasi internal mulai  dari HMPS, BEM, MPM, dan organisasi ekternal kampus seperti HMI, KAMMI, dan sebagainya menjadi pilihan  bagi nmahasiswa yang sejatinya untuk mengembangkan dirinya menjadi lebih bermakna. Namun, apakah setiap mahasiswa sadar dengan niat mereka masuk organisasi khususnya organisasi internal kampus hanya semata memperjuangkan aspirasi mahasiswa yang lain, atau karena yang lainnya. Yang patut kita pertanyakan adalah menjadi ketua-ketua organisasi, niat untuk memperjuangkan aspirasi mahasiswa atau demi dana matriks. Maaf kalau mnyinggung dana matriks. Karena selama setahun kepengurusan, baik BEM Fakultas, BEM Universtas, maupun MPM (Majelis Permusyawaratan Mahasiswa) sangat sedikit kegiatan tang terlaksana, sehingga patut dipertanyakan dikemanakan anggaran yang ada. Apakah memang anggaran yang ada hanya cukup untuk menyelenggarakan satu atau dua kegiatan saja atau memang lari ke tempat lain. Apakah mahasiswa saat ini masuk organisasi ingin menghidupkan organisasi atsu ingin mencari makan (kehidupan) dalam organisasi?
Tidak jauh  beda dengan organisasi ekstrernal kampus. Saat ini, organisasi eksternal biasanya dibawahi oleh partai-partai politik lingkup  nasional. Partai inilah yang kemudian membiayai segala bentuk kegiatan mahasiswa yang tergabung di dalamnya untuk membentuk mindset bagi mahaiswa yang menyoroti roda pemerintahan. Mahasiswa kerap dianggap sebagai  boneka dalam konstruksi politik. Padahal, selayaknya tidak begitu. Mahasiswa adalah agent of change dan control of power bagi negara. Hal tersebut tidak dapat dipungkiri mengingat kampus adalah sebuah miniatur negara. Politik dapat dengan subur berkembang di kalangan mahasiswa.
Menjadi mahasiswa, masuk organisasi, dan menjadi demonstran. Mungkin, seperti itu pemikiran sebagian mahasiswa saat ini. Katanya bukan mahasiswa kalau  tidak pernah ikut demo. Apalagi mahasiswa adalah penyalur lidah masyarakat yang tertindas. Sehingga turun ke jalan, berteriak menyuarakan aspirasi masyarakat, menuntut keadilan, memaki-maki pemerintah yang telah mereka pilih dalam pemilihan umum merupakan rutinitas yang dilakukan oleh sebagian mahasiswa. Memang mahasiswa itu aneh, sudah memilih pemimpin namun ketika terpilih minta dia mundur dari jabatannya. Demonstrasi sangat sarat dengan kekeraan, pembakaran ban, membuat macet lalu lintas, walalupun tidak semua demonstrani dilakukan dengan anarkis namun kita perlu pertanyakan apa arti dari sebuah demonstrasi itu. Memang kita tidak dapat menafikan bahwa selama ini demonstrasi yang terjadi tidak jarang berakhir dengan kekerasan, tetapi kita tidak dapat juga menggeneralisasikan semua demonstrasi seperti itu.
Kalau becermin dari demonstrasi yang dilakukan oleh mahasiswa saat ini, kita patut pertanyakan kemurnian aksi yang dilakukan para demonstran. Demo yang hanya dilakukan oleh lima sampai enam orang apakah murni menyuarakan aspirasi masyarakat atau murni dilakukan demi mendapatkan ini dan itu. Jika murni demi aspirasi masyarakat apakah mungkin mereka ikhlas mengeluarkan uang ayang ada dalam kantong mereka untuk membayar ongkos mobil dan biaya peminjaman salon yang digunakan ketika melakukan demo. Secara akal sehat tidak mungkin dan memang tidak mungkin hal ini dilakukan oleh masyarakat karena kebanyakan dari mereka adalah anak kos-kosan yang uangnya juga pas-pasan.
Fenomena ini tentunya membuat peran mahasiswa sebagai agent of change, agent of control, dan agen pembaharu mulai kehilangan tajinya. Ditambah lagi banyak ditemukannya demo bayaran yang ditunggangi oleh kepentingan-kepentingan tertentu. Sehingga banyak anggapan miring yang muncul, bahwa mahasiswa hanya bisa bicara, Cuma bisa mengkritik pemerintah tanpa manawarkan solusi yang bisa dilakukan demi perbaikan atas kebijakan yang telah mereka soroti. Di samping itu, banyaknya mahasiswa yang hanya ikut-ikutan dalam rombongan para demonstran tanpa mengetahui tujuan aksi yang mereka suarakan. Ketika turun ke jalan menuntut keadilan penegakan  hukum, penuntasan kasus korupsi,  dan sebagainya tidak semua demonstran menguasai atau sekadar hanya tahu apa yang akan disuarakan pada hari itu. Mungkin mereka ikut demo hanya karena lari dari kegiatan perkuliahan sebab tidak mengerjakan tugas kuliah, atau demi segelas aqua, atau demi sebatang rokok, atau sebungkus nasi, atau demi beberapa lembaran uang rupiah. Jika hal ini terus terjadi, maka legalitas mahasiswa telah terjual murah kepada orang-orang yang ada di atasnya. Hal ini membuat prgerakan mahasiswa minim analisis dan hanya menjadi penyebab kemacatan lalu lintas.
Pergerakan mahasiswa saat ini terkesan tidak lagi murni menyuarakan aspirasi rakyat, namun adanya simbolis dengan orang ketiga membuat pergerakan mahasiswa melupakan peranannya sebagai control of power bagi pemerintah. Demonstrasi tidak lagi ditujukan sebagai jalan untuk menyuarakan aspirasi demi tercapainya sebuah perubahan bagi publik, namun hanya sekadar rutinitas balaka. Demo hanya sekadar turun aksi, yang penting teriak di jalan sehingga disebut pandai berbicara. Aksi-aksi mereka hanya member baud an merusak citra aktivis-aktivis yang benar-benar murni memperjuangkan suara rakyat. Sehingga kemurnian gerakan mahasiswa menjadi pertanyaan. Apakah aktivitas dalam gerakan organisasi mahasiswa murni didasarkan demi melakukan perubahan keadaan masyarakat yang lebih baik, atau hanya sekadar batu loncatan untuk memraih kekuasaan atau kedekatan politik dengan pusat penguasa.
Aksi-aksi demonstrasi yang dilakukan mahasiswa hanya sekadar formalitas mahasiswa beraktivitas. Demonstrasi yang dilakukan hanya sebagai konfirmasi mahasiswa yang berfungsi sebagai agen yang mengontrol kebijakan pemerintah. Mahasiswa tidak ingin dinggap apatis terhadap kebijakan pemerintah yang tidak pro rakyat. Mahasiswa hanya tidak ingin dianggap tidak peduli dengan isu-isu yang lagi hangat diperbincangkan. Demonstrasi saat ini tampil dengan wajah baru jika disbanding dengan demonstrasi-demonstrasi masa sebelumnya. Demonstrasi lebih memperhatikan keuntungan materialismenya dan keistimewaannya bagi para demonstran. Demonstrasi gerakan mahaiswa saat ini tidak lagi murni mengusung politik moral. Para demonstran saat ini menjadi masa bayaran oleh orang-orang yang mencari keuntungan dari moment politik yang ada.
Dalam melakukan aksi tidak lagi memperhatikan batasan-batasan yang boleh dan tidak boleh dilakukan. Para demonstran tidak perduli apakah aksi mereka melangggar hokum atau tidak. Yang penting bicara walaupun tidak tahu betul konkrit permasalahan yang ada.
Sebenarnya gerakan mahasiswa bukan berarti harus turun ke jalan. Gerakan mahasiswa bukan hanya menjadi team sukses bagi suatu partai politik atau calon anggota legislatif ketika pemilihan tiba. Mahasiswa sebagai insane yang peka terhadap nadi masyarakat kecil tidak selamannya memperjuangkan nasib wong cilik lewat demonstrasi. Namun, pergerakan mahasiswa bisa lebih dari itu semua dan lebih beretika tentunya. Dengan tulisan misalnya, gerakan mahasiswa bisa mengkritik kebijakan-kebijakan pemerintah dengan solusi yang lebih pasti dan lebih terarah tanpa ada pihak-pihak yang dirugikan.
Apakah kita adalah sebuah organisasi pergerakan suka rela yang didorong oleh hati nurani untuk memperjuangkan aspirasi rakyat? Atau apakah kita sebuah organisasi pergerakan yang menyuarakan aspirasi rakyat hanya sekadat formalitas mahasiswa sebagai agen yang mengontrol kebijakan pemerintah dengan maksud mendapat imbalan dari para donatur yang memotori pergerakan kita? Atau apakah kita termasuk keduanya? Jika keduanya apakah kita sudah bisa membedakan keduanaya dengan jelas sehingga kita bisa melayani sebaik-baiknya seperti yang kita inginkan dalam setiap peran?
Apakah kita terutama sebuah pergerakan mahasiswa yang terlibat dalam atau mendukung masyarakat dalam menyalurkan aspirasinya untuk mengurangi penderitaan mereka akibat kebijakan pemerintah yang tidak pro rakyat? Atau apakah kita merupakan sebuah pergerakan mahaiswa yang sedang melakukan campur tangan sementara dengan para pusat penguasa dengan maksud mendatangkan keuntungan bagi pergerakan yang kita galang tanpa memperhatikan aspirasi rakyat dan lupa pada legalitas kita sebagai mahasiswa?
Melihat kenyataan tersebut, wajar jika para aktivis mahasiswa berfikir perlukah merekonstruksi dan merevolusi lembaga kemahasiswaan? Jika kita melihat kenyataan yang ada, sangatlah perlu jika harus menata ulang dan menyusun kembali organisasi kemahasiswaan yang ada. Karena organisasu kemahasiswaan yang ada saat ini tidak lagi bersifat independent dimana sudah banyak pihak-pihak lain yang berada di belakang para aktivis yang bertarung dalam pemiliha ketua lembaga kemahasiswaan. Sehingga banyak aktivis mahasiswa yang telah lupa dengan fungsi dan legitimasinya sebagai mahasiswa, dimana sebagai agent of change dan control of power bagi negara. Fungsi mahasiswa sebagai sebagai agent of change dan control of power bagi Negara telah lalai dijalankan karena mahasiswa telah menajdi boneka bagi kelompok-kelompok yang berkuasa. Sehingga revolusi organisasi kemahasiswaaan perlu dilakukan untuk mengembalikan citra dan fungsi mahasiswa sebagai agent of change dan control of power.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar